Senin, 04 Januari 2010

Islam Pembawa Rahmat

Islam hadir dengan misi suci, yaitu men-tauhid-kan manusia. Secara sederhana, tauhid berarti keyakinan dan pengakuan akan Tuhan Yang Mahaesa, Allah Swt dan Muhammad Saw sebagai utusan-Nya. Dengan konsep ini, semua manusia berada dalam derajat yang sama. Apa pun suku bangsanya, di mana pun dilahirkannya, dan siapa pun keturunannya, ia sama sebagai makhluk sekaligus hamba Tuhan. Karena keyakinan dan pengakuan akan Tuhan Yang Mahaesa, berarti seseorang secara sadar dan sukarela mengikatkan diri pada aturan-aturan yang terkandung dalam makna dan hakikat tauhid.

Islam adalah agama samawi yang diturukan oleh Allah Swt melalui utusan-Nya, Muhammad Saw yang ajaran-ajarannya terdapat dalam kitab suci Al-Quran dan Sunah. Kata “islam” mempunyai arti: (a) melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin, (b) kedamaian dan keamanan, dan (c) ketaatan dan kepatuhan.

Dalam Al-Quran terdapat perintah agar umat manusia menganut agama Islam dan mengerahkan seluruh kehidupannnya untuk meyakini dan mematuhi ajaran-ajarannya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam,” (QS Ali Imran [3]: 102).

Secara umum, kandungan Al-Quran bertujuan untuk: (1) membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia, (2) mengajarkan kemanusian yang adil dan beradab, yakni bahwa manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerjasama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan, (3) menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan sosial, politik, dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu keesaan, yakni Keesaan Allah Swt, (4) mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, (5) membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidu, serta pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan juga agama, (6) memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia, (7) memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan (8) menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan paduan Nur Ilahi (Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, 1996: 12-13).

Aspek-aspek kandungan Alquran tersebut pada tataran praktis harus membawa dampak positif bagi kehidupan umat manusia. Seorang yang bertauhid, mengakui keesaan Tuhan, menggantungkan diri hanya kepada-Nya, serta menyakini bahwa tidak ada yang setara dengan-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, berhukum dengan hukum-Nya, serta bermoral sesuai dengan tuntunan-Nya, maka ia dituntut agar mengejewantahkan aspek-aspek ajaran tersebut dalam hubungannya dengan sesama manusia sehingga membawa rahmat dan keberkahan. Ia tidak saja saleh secara individu, tetapi juga harus saleh secara sosial.

Meski Islam telah mengalami sejarah yang panjang, namun misi tauhid tetap menjadi inti ajaran. Rasulullah Saw. diutus sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan bagi seluruh umat manusia. Kabar gembira yang beliau bawa antara lain soal kesamaan derajat, kebebasan, keadilan, kesamaan hak, dan nilai-nilai kemanusiaan universal lainnya. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS Al-Anbiya [21]: 107).

Meski kondisi sosial yang dihadapi oleh para nabi itu berbeda-beda, namun misinya sama, yaitu emansipasi bagi orang-orang yang lemah dan tertindas, dan menyatakan kebenaran, serta membangun sebuah tatanan sosial yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan sosial, keadilan, dan persaudaraan. Nilai-nilai tersebut merupakan wujud nyata dari konsepsi Tauhid (Keesaan Allah). Para penindas dan pengeksploitasi juga mengingkari pesan-pesan kebenaran dan kesetaraan sosial; tetapi ini tidak mengurangi semangat para nabi untuk menyampaikanya (Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, 2000: 19-20).

Misi sosial dan keadilan terhadap sesama menjadi ruh tauhid yang hidup. Seorang yang bertauhid dituntut untuk menunjukkan solidaritas yang sama terhadap sesama manusia. Melalui misi kerasulan Muhammad Saw., seluruh umat manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati rahmat ajarannya; menjadi hamba Tuhan sekaligus memberikan maslahat bagi sesama manusia.

Tarmizi Taher berpendapat bahwa untuk menunjukkan bahwa Islam sebagai rahmat dan memberikan kemaslahatan perlu mendalami dan mengamalkan ajarannya dengan hati yang tenang dan tulus. Sebab, menurut Rektor Universitas Az-Zahra ini, emosional dalam beragama bertentangan sekali dengan nilai-nilai agama Islam yang mengajarkan konsep rahmatan lil’alamin, kasih sayang dan lain sebagainya.

Namun, jika kita amati dengan seksama kondisi dan situasi praktik keagamaan kaum muslim dewasa ini, mungkin kita belum bisa sepenuhnya merasakan bahwa Islam telah benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Ketidakadilan dan ketimpangan sosial terjadi di mana-mana, kemiskinan semakin merebak, eksploitasi yang kuat atas yang lemah semakin menjadi-jadi. Tindak kekerasan atas nama agama dan tuduhan sesat karena perbedaan paham keagamaan ikut mewarnai keberagamaan umat.

Menurut Syafii Maarif, agar Islam menjadi agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, ormas-ormas Islam harus ikut ambil bagian memberikan pencerahan dan percerdasan di tubuh umat Islam. Dalam berbagai kesempatan, aku Syafii, dirinya mengajak kepada kaum Muslim agar berunding dan berdialog dengan Alquran, jangan hanya dipertandingkan seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an-red) yang kita rutin lakukan setiap tahun. “Marilah kita mengambil petunjuk langsung dari Alquran. Alquran itu mempunyai fungsi praktis seperti ungkapan hudan linnaas (petunjuk bagi manusia), (QS. Al -Baqarah 185-red) dan hudan lilmuttaqiin (petunjuk bagi orang yang bertaqwa), (QS. al-Baqarah 2-red). Fungsi praktis dan fungsionil dari Alquran inilah yang saat ini kurang diperhatikan oleh kaum Muslim,” demikian ditegaskan oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah ini.

Untuk itu, kita harus mengevaluasi kembali pemahaman dan praktik keberagamaan. Kita perlu introspeksi atau mawas diri atas segala sikap dan dan tindakan yang memiliki kaitan erat dengan praktik beragama kita. Melalui cara demikian, citra Islam sebagai agama rahmat akan berkibar dan terus berkibar. Orang akan menaruh simpati yang dalam jika kita mampu menunjukkan sikap ramah dan toleran dalam segala hal. Kita tak perlu menempuh cara-cara kekerasan dalam mengatasi persoalan, lebih menggunakan cara-cara lunak. Pendekatan ini hanya bisa dilakukan dengan sikap dewasa dan kepala dingin. Melalui pola seperti itu, Islam sebagai rahmat diharapkan bisa dipetik dan dirasakan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar